Maraknya
para "pengaku pakar" ilmu agama dewasa ini menjadi kegelisahan
tersendiri. Saya sebut "pengaku pakar" sebab mereka ditahbiskan sebagai
ustadz-ustadzah oleh media yang merajai zaman milenial. Ironisnya
profesi tersebut tidak sebanding lurus dengan apa yang disampaikan.
Hate speech,
caci maki yang seharusnya tidak etis dilontarkan seorang ustadz, seolah
itu syarat sah menjadi ustadz. Semakin garang dan ngeri makiannya,
semakin mendapat aplaus dari "penganutnya".
Apa
sebab? Tidak lain itu bermula dari umpatan yang disebarluaskan di
Youtube, di lapangan, di tengah masyarakat. Masih hangat dalam ingatan
kita sosok yang dihormati secara "genetika", namun ironisnya ia suka
umbar caci-maki. Sehingga makian itu otomatis menjadi "tutorial" cara
mengumpat yang syar'i. Atau mungkin dalam benaknya bahwa misuh itu
berpahala asal dilanjutkan takbir.
Kejadian
serupa yang lagi hangat dibicarakan adalah tulisan ayat alquran yang
acak-adut dalam tayangan televisi nasional. Sosok yang disebut ustadzah
itu pun dengan enjoy menjelaskan ayat per-ayat sesuai yang terpampang
dalam papan tulis digital. Dia tidak merasa gelisah, risau dengan
kekeliruan tersebut. Seakan tulisan ayat Al-Qur'an yang tidak karuan itu
adalah sesuatu yang wajar.
Persoalan-persoalan
ini memaksa kita untuk selektif dalam memilih ustadz- ustadzah di zaman
now. Sebab ustadz adalah penyeru kebaikan, kebijakan. Darinya pula
seseorang bisa menimba tuntunan mulia.
Hijrahnya
para politisi, artis, musisi, pelawak, mantan preman menjadi sosok
ustadz merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Dengan modal sudah
terkenal dan bekal agama yang pas-pasan, mereka dengan mudah menarik
animo masyarakat. Memang perpindahan profesi tidak dilarang, akan tetapi
ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu harus kompenten di bidang agama.
Bukan cuma pandai berceramah banyolan saja.
Kesemua
ini merupakan tantangan ustadz-ustadzah yang memang kompeten di bidang
agama. Hanya saja diakui atau tidak ustadz yang asli pakar agama
kecolongan strategi dakwah. Tengok saja, dalam Google maupun Youtube
bertebaran ustadz-ustadzah abal-abal. Seakan-akan dunia maya adalah
penentu kealiman dan tidaknya seseorang. Parahnya lagi semua itu
ditentukan rating dan follower. Padahal seorang ustadz-ustadzah berperan
penting untuk mengawal membimbing membentuk pribadi masyarakat.
Sangat
tepat dawuh "laula murabbi ma 'araftu rabbi" (jikalau tanpa ada
pembimbing/ustadz, aku takkan mengenal tuhanku). Permasalahannya adalah
bagaimana cara memilih ustadz-ustadzah yang pantas dijadikan panutan?
Apakah mereka yang suka mencaci maki? Ataukah yang mengajak memberontak?
Atau yang sering tampil di dunia maya?
Gus Mus
pernah dawuh "seseorang yang berdakwah harus memiliki ruh dakwah",
artinya seorang ustadz, guru, muballigh, kiai harus berpijak pada
ruh/inti dakwah yang bersendikan akhlaqul karimah. Apa jadinya generasi
masa depan jika seluruh podium (baik nyata maupun maya) dikuasai
ustadz-ustadz yang tidak menguasai kitab, tidak becus ngajinya, (bahkan
baca terjemahan pun masih belepotan), suka berucap kotor, dan
berperilaku amoral.
Dengan demikian, sudah
sewajibnya para ustadz-ustadzah yang berdakwah dengan bernafaskan
kelembutan sekaligus mengabdikan diri untuk masyarakatnya kudu
dipopulerkan, diviralkan, diyoutubekan sebagai ustadz-ustadzah yang bisa
diteladani, dicontoh tindak tanduknya. Tapi kesemua itu kembali kepada
masyarakat zaman now. Masihkah tertarik untuk menyerap kebaikan dan
bertutur kata yang halus ataukah tidak. Silakan memilih!
Sumber : NU Online
Ikuti pula Media Sosial kami :
- Twitter @Bamus Official
- Website Baitulmustaqim.com
- Youtube Bamus Official
- Instagram bamus_official
- Facebook ppBaitul Mustaqim Punggur
- Temukan Foto-foto kegiatan Pondok Pesantren Baitul Mustaqim pada Galeri Bamus
Terimakasih, Wassalam ......Bamus Media